Bhuichaalo adalah istilah gempa dalam Bahasa Nepal. Lantas, kaca-kaca berguncang keras, berontak dari rangkanya, dan pecah membentur dinding. Prang! Suaranya yang keras bercampur dengan teriakan orang-orang yang panik dan tembok yang menyusul ambrol.
Guncangan yang berlangsung 'hanya' 20 detik, terasa abadi.
Bahwa gempa besar akan mengguncang Nepal sejatinya telah diprediksi. Namun, para ilmuwan mungkin tak mengira, kejadiannya akan secepat itu.
Sebelumnya, pada 12 Maret 2015, sebuah artikel muncul di jurnal Lithosphere. Salah satu penulisnya, Kristin Morell, dari University of Victoria, Kanada, membeberkan hasil kajian mereka terhadap data historis dan jejak-jejak seismik di sekitar Himalaya.
Ini yang mereka tulis di jurnal ilmiah tersebut. "Central seismic gap (kawasan aktif secara tektonik namun jarang terjadi gempa dalam jangka waktu yang lama) sepanjang 700 kilometer kawasan Himalaya Front belum pecah dalam gempa bumi besar selama 200-500 tahun terakhir."
Wilayah antara Kathmandu dan Pokhara tidak pernah mengalami gempa yang sangat besar sejak tahun 1344, lebih 670 tahun yang lalu.
Di balik ketenangan di zona seismik itu, kata mereka, tersimpan potensi bencana besar bagi 10 juta manusia yang menghuninya. Bahwa gempa skala dahsyat, lebih dari 8 skala Richter bisa saja melanda. Entah kapan.
“Meski hipotesis ini masih spekulatif. Namun, hal tersebut didukung catatan sejarah seismik,” demikian kesimpulan yang mereka tulis dalam artikel tersebut, seperti dimuat situs Eurasia News.
Fakta lain yang menarik, 3 minggu sebelum gempa, para ilmuwan mempresentasikan temuan mereka di Kongres Geologi Nepal. Namun mereka tak bisa memprediksi kapan gempa akan terjadi.
Pertanyaannya kemudian, bisakah gempa diprediksi?
“Misalnya, ada 10 gempa besar dalam kurun waktu 10.000 tahun, kita bisa membuat rata-rata (jeda) dari data itu. Namun, kapan waktunya tak bisa diprediksi,” kata Laurent Godin, dosen geologi di Queen’s University sekaligus ahli Himalaya.
Godin berharap, suatu saat nanti tersedia metode untuk memprediksi gempa. Para koleganya saat ini sedang menelaah jejak-jejak kimiawi di air bawah tanah – untuk menguak kapan Bumi menjadi tak stabil.
“Bisakah kita memprediksi gempa? Jawabannya adalah tidak,” kata Peggy Hellweg, manajer operasi Laboratorium Seismologi University of California, Berkeley. “Namun, masalah yang tak kalah penting soal gempa bumi -- juga masyarakat pada intinya -- adalah: orang lupa mereka perlu bersiap."
Karena gempa tak bisa diprediksi, itu mengapa komunitas ilmuwan berteriak lantang, mengajukan protes atas pemidanaan 6 ahli gempa yang dikenakan dakwaan pembunuhan karena dianggap gagal memperingatkan bahaya gempa di L’Aquila, Italia, pada 2009.
Gempa di Lembah Kathmandu sudah lama jadi sumber kekhawatiran besar. Tak hanya karena ia berada di antara 2 sesar yang aktif bergerak. Kondisi manusia yang tinggal di sana menjadikannya lebih parah.
Guncangan gempa dengan kekuatan yang sama bisa membawa akibat berbeda sejumlah wilayah di muka Bumi. Tergantung konstruksi bangunan dan populasi yang ada di sana.
Badan Survey Geologi Amerika Serikat atau USGS mencontohkan, lindu yang berpotensi menyebabkan kematian 10 hingga 30 orang per 1 juta penduduk di California, AS, bisa jadi membawa kematian pada 1.000 orang atau lebih per 1 juta populasi di Nepal. Bahkan, dapat memutus 10.000 nyawa per 1 juta warga di Pakistan, India, Iran, dan China.
Gempa mungkin tak mematikan. Namun, kualitas bangunan bisa jadi menentukan apakah seseorang tewas atau selamat.
Dan, ketidakpastian terkait gempa Nepal Sabtu lalu kian menyakitkan. Sebab, para ilmuwan memprediksi: itu bukan yang terburuk…
Gempa yang lebih besar, berkekuatan antara 8,1 skala Richter sampai 8,3 skala Richter -- seperti yang mengguncang Nepal pada 1934 menunjukkan, yang terburuk belum terjadi.
Saat mengunjungi negara bagian Bihar, salah satu wilayah terparah lindu 1934, Mahatma Gandhi mengatakan, gempa adalah takdir ‘pembalasan’ atas kegagalan India menghapuskan sistem kasta.
Namun, baik Gandhi ataupun ilmuwan tahun 1930-an tak tahu, hujan yang mengisi sungai-sungai besar di Himalaya dan mengalir ke Laut Bengala adalah bagian krusial dari proses itu.
Dr Pierre Bettinelli adalah ilmuwan pertama, yang pada 2007, menunjukkan guyuran besar air hujan -- yang terbesar setelah lembah Amazon -- mempengaruhi gempa di Himalaya.
Dari gurun Aljazair, tempat ia meneliti pengeboran minyak bumi -- salah satu penyebab gempa yang dipicu ulah manusia -- sang ilmuwan angkat bicara pada Newsweek.
"Bayangkan sepotong kayu di atas air -- itulah lempeng India -- injaklah dengan kaki Anda. Maka, terciptalah tekanan, gangguan pada air di sekitarnya. Seperti itulah peningkatan kejadian seismik di pinggiran patahan."
Gunung Himalaya di perbatasan Nepal adalah hasil saling dorong yang tak berujung antara lempeng tektonik Eurasia dan India, fenomena alam yang bisa berujung pada malapetaka.
"Efeknya membuat gempa Nepal makin cepat datangnya," kata Profesor Roland Burgmann dari Department of Earth and Planetary Science, University of California, Berkeley.
Namun, tak ada yang bisa memastikan, segmen tersebut runtuh dalam hitungan hari, bulan, tahun, atau dekade…
Kabar Buruk: Ini Bukan Gempa Terparah
Ini kabar gawat buat warga Nepal. Belum usai pemulihan akibat gempa yang mengguncang, para ilmuwan memprediksi, yang terparah belum terjadi.
Gempa 7,8 yang mengguncang 25 April 2015 baru melepaskan tekanan di sepanjang hanya 1 segmen lempeng tektonik di batas antara Kerak Benua India dan Asia.
Gempa yang lebih besar bisa mengguncang di sebelah barat atau timur episentrum gempa tersebut. Salah satunya di wilayah Bhutan.
"Bahaya belum berlalu,” kata Kristin Morell dari University of Victoria, Kanada. “Himalaya adalah sabuk pegunungan yang sangat panjang dan ketegangan (strain) masih terus terbangun di kawasan lain, dari Pakistan hingga timur Tibet.”
Selama sekitar 50 juta tahun, lempeng tektonik India merangsek di bawah Lempeng Eurasia dengan kecepatan antara 15 sampai 20 milimeter per tahun. Gerakannya tak selalu halus.
Pergerakan Lempeng India dan Asia (IRIS)
Sudut curam meningkatkan gesekan antara lempeng, energi yang terakumulasi secara cepat lepas dalam hitungan detik, kala gempa mengguncang.
Pusat gempa Nepal saat ini berada di sepanjang salah satu dari bagian sangat miring.
Tim peneliti lain yang melakukan penelitian lebih ke timur, di sepanjang sesar di Bhutan menemukan segmen luas patahan yang seakan tak berbatas.
Segmen raksasa itu punya potensi memicu gempa yang lebih besar dari yang diperkirakan. Hasil penelitian tersebut dimuat dalam sebuah makalah di Geophysical Research Letters.
"Jika gempa besar mengguncang Bhutan, bisa jadi kekuatannya lebih besar dari lindu yang mengguncang Nepal," kata salah satu penulis studi Rodolphe Cattin, ahli geofisika dari University of Montpellier, Prancis.
Patahan juga bisa saja siap memicu gempa besar di sebelah barat pusat gempa Nepal 2015. Demikian ujar Simon Klemperer, ahli gempa dari Stanford University.
Segmen patahan berisiko di barat Nepal setidaknya dua kali lipat dari yang mengguncang sisi timur Nepal -- yang membangun tekanan sejak gempa terakhir pada 1505. "Gempa bumi yang saya khawatirkan bukan yang terjadi pada 25 April lalu. Namun, yang mungkin akan terjadi di barat. Dengan kekuatan 8,6 skala Richter," kata dia seperti dimuat situs Science News.
Ancaman Gempa 8,9 SR di Padang
Malam yang tenang berubah jadi huru hara, Minggu 25 November 1833 sekitar pukul 22.00 WIB. Kala itu, lindu dengan kekuatan 8,8 sampai 9,2 skala Richter mengguncang, pusatnya berada di lepas pantai barat Andalas. Penyebabnya adalah pecahnya segmen palung Sumatera sepanjang 1.000 km.
Lindu dirasakan kuat di Padang, Sumatera Barat. Awalnya, getaran dianggap biasa. Namun, disusul guncangan kencang.
"Orang-orang berhambur keluar, khawatir bakal terkubur di bawah bangunan yang bergetar hebat," demikian tulis seorang ilmuwan Dr. A.F.W. Stumpff, sepertiLiputan6.com kutip dari makalah ilmiah berjudul 'Source parameters of the great Sumatran megathrust earthquakes of 1797 and 1833 in ferred from coral microatolls' yang salah satu penulisnya adalah ahli Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja.
Gempa Sumatera 1833
Di luar, Stumpff menambahkan, orang-orang panik merasakan bumi yang berguncang di bawah kaki mereka. "Diterangi cahaya rembulan, ada yang melihat bangunan dan pepohonan bergetar hebat, semburan air muncul di antara retakan tanah dengan kekuatan hebat, sungai-sungai luber, lautan menggelegak."
Dr. A.F.W. Stumpff mencatat, pada Agustus, September dan Oktober terpantau terjadi panas dan kelembaban ekstrem.
"Sementara di hari gempa terjadi ( ia menuliskannya pada tanggal 24 November) ditandai dengan keheningan yang mendalam seluruh alam. Yang tidak disadari banyak orang."
Peristiwa tersebut hanya terjadi 3 menit, namun dampaknya luar biasa. Gempa memicu terjadinya tsunami yang menerjang pesisir barat Sumatera dengan wilayah terdekat dari pusat gempa adalah Pariaman hingga Bengkulu.
Tsunami juga menyebabkan kerusakan parah di Maladewa, Sri Lanka, dan Seychelles. Gelombang raksasa juga dilaporkan mencapai Australia bagian utara, Teluk Benggala, dan Thailand meskipun dalam intensitas kecil.
Bencana pada 1883 yang berpusat di wilayah Sipora didahului gempa besar pada tahun 1797 di wilayah Siberut -- yang kekuatannya diperkirakan mencapai 8,7 - 8,9 SR. Lindu terjadi di Zona Megathrust Mentawai yang kini termasuk zona seismic gap (daerah jarang gempa atau yang sudah lama tidak mengalami gempa besar).
Gempa besar di (zona subduksi) Mentawai selalu berulang mengikuti siklus 200 tahunan. Dan seperti halnya di Nepal, sejarah bencana akan berulang.
Ini telah lama diprediksi: gempa dengan kekuatan hingga 8,9 skala Richter akan mengguncang Mentawai. Lindu yang memicu tsunami itu dinilai mengancam satu juta lebih penduduk di Padang, Pariaman, Painan, dan wilayah lain di Sumatera Barat serta Bengkulu.
Potensi gempa Sumatera Barat kembali diingatkan oleh Brian Tucker, Presiden GeoHazards. GeoHazard adalah lembaga nonprofit asal California yang mengkampanyekan pengurangan risiko bencana alam di daerah-daerah paling rawan di dunia.
Tucker mengatakan, Amerika Serikat, Selandia Baru, Jepang, Turki (khususnya Istanbul), juga Chile adalah negara-negara berpotensi gempa. Namun persiapan telah dilakukan matang. Dari sisi konstruksi bangunan hingga mengedukasi masyarakat tentang mitigasi menghadapi bencana.
Namun, tidak di negara-negara lain. "Ini akan membuat orang begidik. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika gempa mengguncang Teheran, Iran; Karachi, Pakistan; Padang, Indonesia; atau Lima, Peru," kata dia seperti dikutip dari TIME.
"Jika Anda bertanya, di mana gempa besar berikutnya akan terjadi, bukti yang paling kuat mengarah ke lepas pantai Sumatera," kata dia.
Pada 26 Desember 2004, gempa dengan kekuatan 9,1 skala Richter mengguncang Samudera Hindia. Di ujung barat laut Sumatera.
Gempa memicu tsunami 30 meter, menghantam Aceh, Thailand, Sri Lanka, India, Maladewa, dan pesisir timur Afrika. Jutaan liter air laut tumpah ke daratan. Lebih dari 230 ribu nyawa melayang atau dinyatakan hilang. Menjadi salah satu bencana terdahsyat di Abad ke-21
"Padang jauh lebih kecil daripada Kathmandu sehingga tidak akan menciptakan kekacauan ekonomi atau politik yang sama jika gempa mengguncang Teheran, Karachi, atau Istanbul. Namun, kekuatan gempa yang bisa memicu tsunami bisa berakibat pada malapetaka."
Tucker menyebut, gelombang urbanisasi dari daerah pedesaan ke kota-kota di seluruh dunia berujung pada pembangunan fisik yang mengabaikan kualitas dan daya tahan terhadap gempa. "Tak ada sumber daya untuk membangun kembali semua sekolah, rumah sakit, rumah, dan apartemen sesuai dengan standar bangunan yang baik," kata dia.
Skrenario gempa Mentawai (www.earthobservatory.sg)
Apakah potensi gempa di Padang berkaitan dengan lindu di Nepal?
Diwawancarai terpisah, pakar gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Danny Hilman mengatakan, tidak.
"Memang secara regional terkoneksi, ada lingkaran perputaran energi. Tapi itu jauh sekali. Terpisahnya sampai ribuan kilometer. Sedangkan pergerakan (lempeng) kemarin hanya beberapa meter. Jadi tak benar gempa besar (di Nepal) bisa memicu gempa di Indonesia," kata dia saat diwawancarai Liputan6.com.
"Kalaupun ada gempa di Padang, itu karena memang siklusnya," tambah dia. Danny menambahkan, prediksi gempa di Megathrust Mentawai -- yang diperkirakan kekuatannya mencapai 8,8-8,9 SR -- memang belum terjadi.
"Megathrust terbentang di pantai barat Sumatera, mulai Andaman, Aceh, Nias, sampai Selat Sunda, Jawa, Bali, Lombok," kata Danny. "Di Sumatera, Aceh sudah lepas (energi yang tertahan alias gempa), Nias sudah lepas, Bengkulu sudah lepas. Mentawai belum lepas," kata dia.
Gempa 7,6 skala Richter yang mengguncang Sumatera Barat dan menewaskan 1.117 orang pada 30 September 2009, kata Danny, terjadi di segmen lain. Bukan Mentawai.
"Tingkat energi di Mentawai sudah penuh, sudah di akhir siklus. Secara teoritis bisa terjadi sekarang atau besok..." (Ein) (liputan6.com)
peristiwa adalah kehendak allah swt
BalasHapus