Letnan Sukarjo reflek mencabut pistolnya untuk melindungi Presiden. Namun Soekarno menyuruhnya untuk menyarungkan kembali pistol itu.
Soekarno terkejut melihat isi surat tersebut. Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!"
(lettu Inf. Purn) Sukardjo Wilardjito dan Buku Kesaksiannya Tentang Supersemar
Sukardjo sempat melihat naskah tersebut. Kop surat, kata dia, tidak ada lambang kepresidenan. Dia justru melihat kop Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di sisi kiri atas surat tersebut.
"Untuk mengubah waktunya sudah sangat sempit. Tandatangani sajalah, Paduka. Bismillah," kata Basuki Rachmat, yang ditemani Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf dan M Panggabean.
Surat yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) itu akhirnya diteken oleh Soekarno. Keempat jenderal utusan Soeharto itu lantas membawa surat dengan sumringah. Setelah kejadian itu, Soekarno langsung mewanti-wanti Sukardjo.
Kamu harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati, ujar Sukardjo menirukan pesan Soekarno saat itu. Kisah itu dituliskannya dalam buku Mereka Menodong Bung Karno.
Dan benar saja, tak lama setelah kejadian itu, Sukardjo dilucuti oleh pasukan Kostrad dan RPKAD untuk kemudian ditahan. Dia dipenjara oleh Orde Baru tanpa peradilan selama 14 tahun. Selama ditahan, dia menerima penyiksaan, seperti disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.
Versi lain disampaikan oleh Asisten Intelijen I Tjakrabirawa Mayor Ali Ebram. Dia tak menyebut ada penodongan pistol. Tapi sikap para jenderal utusan Soeharto tersebut memang mengintimidasi Presiden Soekarno. Bahkan mereka berani mendesak Presiden untuk segera membuat surat perintah untuk Letjen Soeharto. Ali mengaku dia ingin mencabut pistol saat melihat kelakuan Brigjen Amir Machmud.
"Sudah, Bapak bikin saja! kata Amir sambil berdiri. Padahal Bung Karno hanya duduk sambil bersender pada kursi. Saya marah. Heee Jenderal, yang sopan dong!" kata Ali Ebram menceritakan kisah dini hari 11 Maret 1966.
Namun Soekarno malah menyeret Ali Ebram ke ruangan sebelah. Dia dimarahi dan diminta tidak ikut-ikutan. "Kamu anak buahku, jangan ikut-ikutan," kata Soekarno dalam bahasa Jawa.
Ali Ebram keluar Istana dan berjaga di luar. Dia mengaku saat itu masih sakit hati. Bukan kepada Soekarno, tapi pada Brigjen Amir Machmud.
"Waktu melihat Amir Machmud itu saya rasanya ingin merogoh pistol saya. Kalau tidak ada bapak enggak tahu apa yang bakal terjadi," beber Ali Ebram dalam wawancara dengan Tabloid DeTak tahun 1999.
Kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito dibantah banyak pihak. Tapi setidaknya itulah kesaksian dari Sukardjo, pengawal presiden, yang kedatangan tamu empat jenderal pada pukul 01.00 WIB. Selain soal pistol, kesaksian yang paling diragukan adalah kehadiran Brigjen M Panggabean. Dari beberapa versi cerita, cuma Sukardjo yang mengatakan kehadiran Panggabean di Istana Bogor.
Namun, tak sedikit juga yang memperkuat kesaksian Sukardjo. Mereka yang memperkuat kesaksian Sukardjo adalah R Seoekiram, S Ponirah, Soeprapto Karto Siswoyo dan Rian Ismali. Keempatnya merupakan purnawirawan CPM dan TNI AD.
Akibat pengakuannya yang menghebohkan usai reformasi pecah pada 1998 itu, Sukardjo sempat menghadapi proses hukum atas tuduhan menyebarkan berita bohong. Namun, dia berhasil lolos dari jeratan hukum karena tuduhan itu tidak terbukti.
Mayor Ali Ebram juga dipenjara belasan tahun oleh Orde Baru. Dia mengaku beberapa kali dihubungi agar tak membongkar apa yang terjadi di dini hari tersebut. Lagi-lagi misteri Supersemar sulit diungkap.
0 Response to "Buku Mereka Menodong Bung Karno: Kisah Kudeta Supersemar?"
Posting Komentar