Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan tak ada pelanggaran kode etik dalam penyusunan laporan hasil pemeriksaan anggaran pemerintah DKI Jakarta tahun 2014. Juru bicara BPK, Raden Yudi Ramdan, mengatakan tak terbukti adanya intervensi dalam pembuatan laporan tersebut. "Prosesnya sudah sesuai dengan standar dan kewenangan," katanya, kemarin.
Sidang yang digelar Majelis Kehormatan bermula dari surat pengaduan yang dikirim Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tertanggal 3 Agustus 2015. Basuki menyoroti dua hal: prosedur penyerahan laporan hasil pemeriksaan dan meninjau ulang poin temuan tentang pembelian lahan Sumber Waras.
Laporan Hasil Pemeriksaan itu dibuat saat Efdinal menjabat Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan DKI Jakarta. Efdinal diduga memakai audit itu agar pemerintah bersedia membeli lahan di tengahan Pemakaman Pondok Kopi. Setelah ditelisik, lahan 9.618 meter persegi itu ternyata miliknya. Pemerintah selalu menolak membeli karena lahan tersebut sudah milik Dinas Pemakaman.
Basuki meminta Majelis Etika memanggil dan memeriksanya. Ia menunjukkan bukti surat BPK yang akan memanggilnya untuk klarifikasi. "Sampai delapan bulan saya tak pernah diperiksa," tuturnya.
Menurut Yudi, BPK tak menemukan pelanggaran etika dalam laporan tersebut sehingga tak perlu memeriksa Basuki. Efdinal memang dicopot dari jabatan Kepala BPK namun tak disebutkan akibat laporan Indonesia Corruption Watch atas dugaan pelanggaran etika itu. Hasil Majelis Etika sudah dilaporkan kepada Basuki pada 23 Maret 2016. "Hasilnya final," kata Yudi.
Soal prosedur audit Sumber Waras, menurut Basuki, tim BPK Jakarta tak memberi kesempatan kepada pemerintah memperbaiki temuan-temuan auditor. BPK malah langsung memberikan audit tersebut kepada DPRD Jakarta dalam sidang paripurna. BPK juga meminta Sekretaris Daerah Saefullah menandatangani tanda terima penyerahan laporan. "Baru kali ini laporan tak diserahkan kepada kepala daerah," ucapnya.
Yudi tak memusingkan prosedur yang dipermasalahkan Basuki. Ia mengatakan laporan hasil pemeriksaan tak wajib diterima gubernur karena sifatnya antar-instansi. "Diterima kepala bagian tata usaha pun boleh," katanya.
Basuki juga mempermasalahkan temuan BPK atas pembelian lahan Sumber Waras. BPK menilai Basuki tak cermat karena membeli Sumber Waras yang menimbulkan kerugian negara karena ada disposisi kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Basuki menyoal temuan itu karena tak pernah diklarifikasi selama audit.
Dalam audit tersebut, Basuki juga tak sependapat dengan rekomendasi BPK agar pemerintah membatalkan pembelian dan mengembalikan uangnya. Menurut dia, tak ada yang keliru dalam pembelian itu karena lahan bebas sengketa dan siap bangun untuk rumah sakit kanker.
Yudi mengatakan penelusuran pembelian lahan dilakukan karena auditor menilai transaksinya janggal. Dalam laporan, tercatat adanya transfer ke rekening Bank DKI milik Dinas Kesehatan ke bendahara Dinas pada 31 Desember 2014 senilai Rp 755,69 miliar. "Kalau pembelian lahan, harusnya langsung dibayarkan ke pihak ketiga," ucapnya.
Dengan membandingkan penawaran Ciputra, BPK menganggap ada kerugian Rp 191 miliar. Lagi pula nilai pajaknya juga keliru, karena BPK meyakini pajaknya mengikut Jalan Tomang Utara, yang selisih Rp 13 juta. Adapun Basuki mendasarkan pembelian pada pajak Jalan Kiai Tapa, seperti tertera dalam sertifikat tanah, sebesar Rp 20,7 juta, yang ditetapkan Kementerian Keuangan.LINDA HAIRANI | Koran tempo
Peluru Baru: Hak Guna Bangunan
Di luar kerugian negara dan nilai jual obyek pajak, Badan Pemeriksa Keuangan menyalahkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama ketika membeli lahan Rumah Sakit Sumber Waras. BPK menyebut kerugian negara Rp 191 miliar, angka kemahalan dibanding tawaran Ciputra setahun sebelumnya. Juga menganggap pajak lahan seharusnya mengikuti Jalan Tomang Utara.
Pembelian itu mengacu pada pajak Kiai Tapa sebesar Rp 20,7 juta, lebih tinggi Rp 13 juta dibanding Jalan Tomang Utara. Dasar Kiai Tapa sesuai dengan sertifikat dan nilai pajak berdasarkan keputusan Dinas Pajak karena ada kenaikan sebesar 80 persen pada tahun itu. Dalam auditnya BPK menyalahkan Basuki yang buru-buru membeli tanah itu dan menaikkan nilai pajak.
Menurut Basuki, itu cara berpikir penjahat. Soalnya, jika ia tak menaikkan nilai pajak, pemerintah rugi akibat PBB terlalu murah. "Jangan sampai, karena ingin membeli murah Sumber Waras, lalu rugi penerimaan pajak dari daerah lain," katanya.
Basuki juga dibidik karena keterangan dalam sertifikat Jalan Kiai Tapa, yang menyebut hak guna bangunan Sumber Waras di lahan itu berakhir 26 Mei 2018. Menurut Basuki, BPK dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menanyakan soal itu. Dengan kata lain, tanpa dibeli pada 2014, lahan itu akan menjadi milik pemerintah Jakarta dengan sendirinya pada 2018.
Basuki menjelaskan, meski status HGB berakhir, tak serta-merta menjadi milik pemerintah. Pemilik lahan adalah Badan Pertanahan Nasional dan statusnya bisa diperpanjang oleh pemilik Sumber Waras. "Kalau cara berpikirnya begitu, pemerintah tak usah beli tanah, di seluruh Indonesia tunggu saja HGB atau HGU habis, bisa kaya kita," kata dia.
0 Response to "Kronologi perseteruan AHOK VS BPK, Siapa yang Salah?"
Posting Komentar