Narasi perang sipil antara Pakistan dan India yang menewaskan begitu banyak manusia menjadi refleksi besar bagi para pemuda pekerja budaya itu untuk meredam tumbuhnya benih-benih fundamentalisme. Jika berhasil tumbuh subur, benih tersebut pada gilirannya akan membuahkan keyakinan bahwa hanya ada satu identitas tunggal yang kodrati dan melekat pada diri seseorang.
“Sungguh berbahaya ilusi semacam itu,” kata Amartya Sen, peraih Hadiah Nobel Ekonomi, penulis buku Identity and Violence, serta intelektual yang juga berasal dari India. Identitas akan dipandang sebagai beban, tuntutan, dan landasan yang kemudian menghasilkan suatu misi “meng-kami-kan kalian”. Bila sampai di titik ekstremnya, ia akan menggunakan cara-cara kekerasan, baik fisik, verbal, ataupun struktural.
“Bagaimana mungkin sekelompok manusia yang sebenarnya berasal dari kelas sosial yang sama saling membunuh atas nama agama dan fanatisme kelompok?” Demikian gugatan Sen terhadap peristiwa kerusuhan antara buruh Hindu dan Islam yang berada dalam kondisi miskin secara ekonomi hingga partisipasi politik. Negeri bagian selatan Asia Selatan itu terbelah menjadi India dan Pakistan akibatnya.
Dari sini, identitas memperoleh wataknya yang imperialistis: menihilkan afiliasinya dengan identitas lain yang ada pada orang maupun kelompok di luar dirinya. Identitas dimaknai sebagai lingkaran-lingkaran yang tidak saling beririsan. Nilai, kebudayaan, ataupun prioritas lain pun disingkirkan. Pandangan berikut”meminjam bahasa Sen”menjadikan identitas exclusive belong to one group. Terpisah, berjarak.
Ilusi tentang afiliasi tunggal identitas sebenarnya dipupuk oleh logika yang fragmentaris, patah-patah. Kadang kala, patahan ini disokong segelintir kalangan yang berniat memperoleh keuntungan ekonomi-politik dengan memanfaatkan kekeliruan cara pandang kita ketika mengidentifikasikan diri dalam relasinya dengan orang atau kelompok lain.
Kekeliruan tersebut disebabkan karena manusia semata dilihat berdasarkan agamanya saja, atau etnisnya saja, atau gendernya saja, dan lain sebagainya. Bukankah kekerasan juga lahir karena mengabaikan irisan identitas antara dirinya dengan orang dan kelompok lain? Apalagi kalau hal ini diterjemahkan sebagai takdir. Tidakkah pula kolonialisme lahir dari anggapan “takdir kami untuk memberadabkan mereka, pribumi di negara bekas jajahan? Identity is destiny mendapatkan konotasi antagonistisnya di sini.
* * *
“Civilization is a tree with many roots,” begitu Harry Eyres mendefinisikan peradaban. Sebagaimana peradaban, identitas manusia dibentuk dari berbagai macam pertalian. Bagaikan pohon berakar serabut, kita sesungguhnya terikat oleh sekian banyak afiliasi identitas meski kerap kali tanpa disadari.
Melalui cara pandang seperti itu, kita dapat belajar bahwa manusia mesti dipahami dalam kepribadiannya yang beragam. Acoter lahir sebagai orang Bone, beragama Islam, kuliah di Universitas Hasanuddin, dan penggemar klub sepak bola Liverpool. Albert terlahir sebagai orang Toraja, beragama Katolik, kuliah di Universitas Negeri Makassar, dan penggila klub sepak bola Manchester.
Mereka berbeda dalam banyak hal, namun keduanya dipertemukan oleh pandangan politik yang sama, yaitu menolak segala bentuk privatisasi di dunia pendidikan. Manakala berproses menghadapi isu itu bersama-sama, segenap keberbedaan di antara mereka ditanggalkan untuk sementara. Itulah saat ketika identity is destiny menemukan konotasinya yang protagonis, unik, dan lentur.
Atau, kita bisa mengambil contoh historis kisah cendekiawan muslim di sekitar abad ke-5 hingga ke-7 Masehi, yang memiliki ketertarikan terhadap sains dan menjadi garda depan dalam menyebarkan ilmu pengetahuan tanpa memandang agama atau berasal dari etnis mana orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut. Komitmen terhadap ilmu pengetahuan berhasil membangun keterikatan di antara mereka.
Atau, kita dapat menarik contoh konsep gender dalam suku Bugis yang menerima keberadaan jenis kelamin ketiga dan keempat (calabai’, calalai’, dan bissu’), bahkan calabai’ dan bissu’ diberi peran dalam pranata sosial masyarakat Bugis. Belakangan, eksistensi mereka dinilai haram oleh kelompok fundamentalis yang menolak LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) sebagai identitas manusia. Padahal, boleh jadi di antara mereka yang menolak adalah juga orang Bugis.
Barangkali kita perlu belajar dari intelektual dan pekerja budaya di India yang menghadapi fundamentalisme bukan lewat cara kekerasan, melainkan dengan memperlihatkan sebuah konstruksi yang majemuk tentang identitas. “Agar kita tidak terkurung oleh cakrawala pandang kita sendiri,” kata Amartya Sen di akhir bukunya.
Harry Isra M.
*) Anggota LAW dan Mahasiswa Sastra Universitas Hasanuddin
Dikutip dari Koran tempo 13 april 2016
0 Response to "Film India dan Toleransi Beragama"
Posting Komentar