Berikut ini ada sebuah cerita menarik dari akun Pejelajah alam kompasiana, yang tampaknya merupakan orang asli bengkulu hingga tau seluk beluk daerah bengkulu. Kenapa daerah ini terkenal sebagai daerah texas yang rawan kriminal. Apa penyebab penduduk disini sangat mengerikan dan tidak takut berbuat jahat.
Saking mengerikan dan rawanya daerah ini, salah satu orang bengkulu pernah bercerita seperti di kutip dati kompasiana.com,
Seorang teman yang punya keluarga di daerah Texas, pernah bertutur, "Kalau kamu masih SD, ngerengek minta motor, pasti diomeli sama Bapakmu. Tapi di daerah Texas sini, kalau kamu minta motor, Bapakmu cuma akan menanyakan dua pertanyaan. Satu 'merk apa?', yang kedua 'warna apa?'. Lalu Bapakmu akan ke kebun sebentar memotong kayu kopi, membawa parang, lalu tinggal menunggu di pinggir jalan. Menunggu motor pesananmu melintas. Kalau pengemudinya beruntung ya cuma luka bacok, kalau sial ya , goodbyee....."
Ada kisah, PUT (Padang Ulak Tanding) itu asal mulanya adalah tempat para hulubalang (pendekar kerajaan) zaman Sriwijaya beradu (bertarung) adu ilmu sampai mati. Jadi apabila ada hulubalang yang bertengkar pada masa itu maka akan duel sampai mati di sana. Padang artinya tempat bertanding, ulak artinya sedang mengerjakan apa (sedang melakukan), tanding artinya adu ilmu/keahlian bela diri. Penghuni PUT adalah campuran suku Lembak, Lintang, dan rejang.
Namun lebih dominan suku lembak. Jadi memang di sana adalah keturunan jawara-jawara kampung yang dekat dengan kekerasan. Seperti kisah texas di film koboi. Anak bayi laki-laki yang baru lahir pun disisipkan sebilah pisau dikain bajunya sebagai syarat wajib adat dan akan disimpan sampai dewasa. Jawara-jawara yang adu tanding pada masa itu adalah hulubalang yg berasal dari daerah Lintang Empat Lawang dan Rejang.
Karena sudah takdirnya hulubalang untuk hidup keras sebagai pengawal kerajaan dan pengaman negeri. Budaya yang secara tidak sengaja menjadi turun temurun karena karakteristiknya. Ketika terjadi Akulturasi pencampuran budaya melalui perkawinan, yaitu setelah era kerajaan mulai berkurang sampai ke masa NKRI, para hulubalang ini banyak yang menikah silang dengan puteri-puteri dari kerajaan indrapura sumatera barat.
Dan keturunan inilah cikal bakal suku SEMENDE. Semende berasal dari kata "SAMANDO" (bahasa minang) artinya "Saudara Besan" . Hasil dari suku semende ini adalah budaya suka merantau orang minang diadopsi oleh suku Lintang, Lembak dan Rejang. Menghasilkan budaya baru yang lebih lembut dari sebelumnya. Mereka mulai menyebar sampai ke Pasemah, Pagar Alam, Lahat, dan sampai ke Kaur dan Padang Guci (dulu Bengkulu Selatan), berkembang terus menjadi suku-suku Melayu baru yaitu melayu serawai.
Lebih dekat dengan nilai-nilai keagamaan dan religius. Maka beberapa solusinya adalah : 1. Kawasan PUT diambil alih dijadikan tempat pelatihan militer, latihan perang bagi TNI dan POLRI, dan bisa dijadikan pembukaan kawasan pendidikan untuk sumsel dan bengkulu. 2. Padang Ulak Tanding dan zona sekitarnya harus menjadi percontohan reklamasi budaya menjadi budaya baru yang lebih baik dengan akulturasi melalui transmigrasi lokal dan nasional.
Akun penjelajahalam juga menambahkan, bahwa bukan karena "kemiskinan" (dalam tanda kutip harta). Namun adalah karakter yang tertanam sejak kecil dan telah turun temurun. Bahwa di daerah ini, pergaulan seorang laki-laki akan menjadi tambah disegani ketika terkenal pernah membunuh, bahkan semakin sering membunuh nilai wibawanya semakin tinggi.
Terlanjur menjadi trend tersendiri di pergaulannya. Ciri khas jawara-jawara masa lampau ketika belum mengenal hukum negara. Termasuk mencuri dan merampok menjadi hobi tersendiri agar lebih dikenal sebagai jawara sehingga mampu menarik simpatik dalam pergaulan. Padahal penjualan hasil rampokan nilainya tidak seberapa. Kecukupan mereka sangat jauh lebih baik dari nilai hasil rampokan. Fenomena ini adalah pembawaan doktrin pergaulan masa lalu mereka yang terlanjur terbawa sampai sekarang.
Bila dihitung penduduk PUT yang benar-benar "Penduduk Asli" disana sebenarnya jumlahnya sudah sedikit sekali dan rata-rata yang asli sudah berusia lanjut. Anak-anak mereka sudah banyak yang merantau dan menetap di daerah lain termasuk di Kota Bengkulu. Orangnya baik-baik semua dan kadang hanya menjawab dengan senyum bila ditanya tentang kampung halamannya.
Masalahnya adalah banyak kelompok kriminal datang dari daerah lain yang "hijrah" ke kawasan PUT ini untuk berlindung dan melakukan aksinya. Coba dicek data-data asal kelahiran warga di sana, pasti banyak pendatang. Karena tersebar kabar kejahatan disana dilindungi (ditutup-tutupi) oleh kepala desa nya. Kriminal pendatang inilah yang sudah lama bercokol di PUT dan seolah-olah menjadi warga asli.
Hijrahnya kelompok ini sudah terkenal sejak tahun 1980/1990-an, sekian puluh tahun di sana berkembanglah generasi yang ada sekarang di PUT. Sekitar tahun 2008 ada teman saya yang hari pertama dinas sebagai Guru SD (CPNS) ditempatkan di PUT, di hari pertama itu sepeda motornya dirampok di tanjakan jalan. Karena tidak melawan dia selamat, dengan lobi-lobi khusus melalui kepala desa dan membayar tebusan motornya bisa kembali, hanya bertahan seminggu akhirnya dia mengajukan pindah tugas.
Selanjutnya, akun penjelajah alam kembali menambahkan
Memang iya sekitar pertengahan tahun 2015 pasca kerusuhan di Sindang Kelingi, Polda Bengkulu sangat berperan aktif mengatasi masalah di kawasan ini. Namun seperti kucing-kucingan, saat aparat mulai longgar, para pelaku yg tadinya "puasa", mulai lagi melancarkan aksinya. Jarak yang cukup panjang sekitar 45 km melintasi 3 Kecamatan (Binduriang, Sindang Kelingi & Padang Ulak Tanding) masih saja ada kejadian walaupun patroli rutin dilaksanakan.
Banyak trik-trik bagi pelintas yang sudah biasa, misalnya menyimpan Nama Kades (atau mantan Kades) tertentu dan Nomor HP nya diponsel, ketika akan dirampok cukup sebut nama orang ini saja, pelaku jadi urung merampok, paling sekedar minta uang rokok. Atau ada yg memakai kode-kode tertentu melalui stiker di mobil, kode pengusaha travel yang juga asli orang daerah ini. Untuk bus-bus luar Kota biasanya sudah ada koneksi tertentu dengan "orang kuat" di daerah ini supaya bus-nya aman saat melintas.
daerah texas rejang lebong (jalur curup-lubuk linggau) foto from www.journeytoindonesia.net
Sedangkan untuk bus yang belum terdaftar biasanya wajib dengan cara "sopan", misal menutup hordeng kaca bus saat melintas dan mematikan tape mobil. Tapi tentu trik-trik itu tidak semua orang yang paham. Dan memang seharusnya bukan itu solusinya. Misal solusi harus berjalan beriringan (konvoi) saat melintas, toh tidak mungkin setiap waktu orang harus bepergian dengan rombongan, atau menunggu dulu setiap orang yang akan melintas.
Maknanya adalah, saat masalah ini di diamkan begitu saja, "NEGARA DIKALAHKAN" saat ini. Dikalahkan oleh perilaku dan budaya yang tidak baik oleh kelakuaan sekelompok orang. Tapi tidak mungkin untuk mengukur kepribadian setiap orang yang tinggal di situ, apakah dia kriminal atau bukan kriminal. AKSI SILANG, juga menjadi modus baru, misal pelaku dari desa A melakukan aksinya di desa C, sehingga warga desa C bisa mengelak untuk berpartisipasi mengatasi masalah dengan alasan bukan warganya. Saling "keseganan" antara desa di kawasan ini juga penghambat untuk memberdayakan masyarakat sebagai "polisi masyarakat/polmas.
Mereka tidak mau saling "tindak" karena bisa memicu perang antar desa. Lebih berbahaya lagi. Razia senjata tajam setiap waktu tidak mungkin, karena mereka semua adalah petani. Toh parang, pisau dan sejenisnya adalah alat pertanian. Pemberlakuan jam malam juga tidak bisa diberlakukan, mereka bisa beralasan pergi ke kebun jam 02.00 malam karena memang kebunnya jauh.
Masalahnya terlalu kompleks, kadang karena pertalian darah, ada salah satu sanak famili mereka yang berbuat kejahatan, kemudian ditindak (sampai ada yang tewas "didor" polisi), akhirnya satu keluarga bisa berubah menjadi pelaku baru untuk membalaskan dendam keluarganya, yaa kepada aparat, dan yaa mungkin kepada pelintas yang mereka anggap sebagai musuh. Solusinya adalah meng-eleminir kesempatan dan pintu jalur masuknya kejadian kriminalitas itu terjadi.
Sehingga ruang gerak mereka semakin kecil, dan bertahap perilaku kejahatan menjadi sesuatu yang membosankan.
1. Dibuat Jalan Tol khusus Curup- Lubuk Linggau. Disebut tol khusus karena sepeda motor juga bisa lewat Tol ini. Secara perlahan jalan umum yang rawan akan menjadi sepi peminat untuk dilintasi. Solusi ini butuh kinerja khusus dari pihak-pihak yang berkompeten, DPR RI, DPD, DPRD, Pemprov dan Pemkab yang terkait.
Bila di tarik garis lurus antara Curup- Lubuk Linggau jelas jarak tempuhnya tidak sampai 45 km. Karena medan jalan yang berliku mengitari bukit, jalan umum selama ini terasa jauh.
2. Pembuatan Gerbang Jalan Semi Tol. Solusi ini persiapan sebelum Tol resmi dibuat, yaitu setiap jarak tertentu dari 45 km tersebut (misal setiap per 5 km) dibuat Gerbang-gerbang seperti gerbang tol. Walaupun tanpa diambil biaya tiket. Gunanya hanya sebatas "pencegat/pemeriksaan" melalui Kartu Tol (atau mirip kartu tol). Fungsinya seperti pos penjagaan, jadi setiap orang yang melintas tidak memiliki tiket, jelas orang itu masuk dari "jalan tikus" dan bisa dikenai denda atau tilang.
Jalur-jalur akses keluar jalan kecil (jalan aspal ke perkampungan) juga dibuat pintu gerbang Semi Tol ini. Petugas jaga bisa diberdayakan dari TNI/Polri dan Dishub. Upaya ini bisa meminimalisir aksi pelaku kejahatan di kawasan ini.
Dan menurut penjelajah alam, itu semua bisa terwujut tergantung keseriusan pemerintah, setelah terungkap kasus Yuyun, akhirnya publik bisa tahu bahwa sudah lama lebih banyak lagi kasus kematian (perampokan) yang terjadi di kawasan ini. Contoh ada catatan dari satu blog rangkuman singkatnya di 2015 yang lalu : http://m.radarpena.com/welcome/read/2015/04/29/18576/24/2/Dikenal-Rawan-Tiap-Hari-Ada-Perampokan- Jadi wajar bila jalur penghubung antara sumsel - bengkulu ini penyebab banyak ketertinggalan provinsi bengkulu.
Mujur jalur udara sekarang sudah lebih baik, tapi aktivitas yang terbanyak berpengaruh adalah melalui darat. Semoga seiring program infra struktur yang sedang diprioritaskan oleh pemerintah pusat dan provinsi bisa sekaligus menyelesaikan masalah yang tak kunjung selesai selama puluhan tahun di kawasan ini.
Solusi pembuatan gerbang (mirip gerbang tol) sebagai pintu pemeriksaan/pencegatan di beberapa titik, misal 9 titik (5km/titik) paling menghabiskan dana 1,8 M seandainya setiap gerbang membutuhkan biaya 200 juta. Ditambah dana operasional kegiatan petugas penjagaan selama 1 tahun. Tidak terlalu fantastis dana yang dibutuhkan.
Bisa dengan mudah dilaksanakan apabila semua pihak serius untuk mengambil solusi, Bbrp waktu lalu pernah heboh, karena yang menjadi korban perampokan adalah istri perwira TNI. Semua unsur terjun memberikan solusi. Patroli intens dilakukan. Lama kelamaan juga akhirnya juga terlupakan. Kan tidak mungkin harus menunggu lagi korban dari keluarga tokoh pejabat/penguasa dari negeri ini, baru kemudian masalah ini ditangani dengan serius.
Solusi di bidang sosial budaya, kemanusiaan dan pendidikan, bisa dengan cara "PEMUTUSAN GENERASI". Maksudnya adalah tidak ada celah pewarisan budaya lama ke generasi baru. Artinya generasi muda yang masih wajib sekolah dari SD sampai tingkat SMA dibangunkan sekolah yang ber-asrama (di inapkan). Bisa dibangun di kawasan itu atau di ibukota Kabupaten (curup), sehingga putus satu generasi, akan selamatlah generasi berikutnya. Menyelamatkan "calon korban" dan menyelamatkan "calon pelaku".
Langkah-langkah ini bisa semua dilakukan bila yang "berkompeten" telah mengambil alih dan masuk dalam pemahamannya bahwa masalah ini adalah masalah yang serius. Tidak perlu menunggu hari ke hari, minggu ke minggu untuk membaca koran menghitung jumlah korban. Negara telah memberikan kewenangan "DISKRESI" apabila kebijakan yang diambil nantinya belum ada payung hukum pelaksanaannya (UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
Berharap saja kasus Yuyun ini menjadi "trend politik dan pemerintahan" yang baik agar setiap pemangku jabatan di negeri ini berlomba mengambil tindakan tepat, adil dan bijaksana.
Trimakasih info nya
BalasHapus