Latar belakang Puisi karawang Bekasi
Salah satu puisi chairil anwar yang berjudul Karawang Bekasi adalah puisi catatan sejarah republik indonesia yang ditulis pada tahun 1948. Masa di mana rakyat indonesia sedang berada dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan republik indonesia.
Karawang Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi,
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi kami adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi ada yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.
Analisis Makna Puisi Karawang Bekasi
Analisis puisi “Kerawang Bekasi” karya Chairil Anwar berdasarkan lapis-lapis normanya yaitu sebagai berikut:
Lapis bunyi
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “merdeka” dan angkat senjata lagi.
Pada bait pertama puisi “Kerawang Bekasi” mengandung bunyi yang semacam/sama. Pada bait satu terdapat asonansi “a” dan “i” dan aliterasi “k-l”. pada bait satu juga terdapat sajak awal, tengah, dan akhir yang sama yaitu “i”. asonansi “a” dan “i” juga terlihat pada bait kedua. Begitu juga aliterasi pada bait kedua juga menggunakan huruf “k-l”. Namun, sajak yang digunakan tidak senada. Hal itu dapat dilihat pada penggalan puisi berikut ini.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Pada bait ketiga dan keepat pada puisi di atas mengandung asonansi “a” dan “i”. selain asonansi, kedua bait tersebut juga mengandung aliterasi yaitu “t” dan “d”. Persajakan awal menggunakan sajak “I”, sajak tengahnya ‘u”, dan sajak akhirnya “I”. hal itu dapat dilhat dari penggalan berikut ini.
Kami bicara padamu dalam hening dimalam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliput debu.
Kenang, kenanglah kami
Bait lima dan bait enam memiliki asonansi bunyi “a” dan “I” yang diselingi dengan bunyi “u”. Aliterasi dari kedua bait tersebut berbeda. Untuk bait kelima, memiliki aliterasi “ k-m” sedangkan pada bait keenam memiliki aliterasi “ k-b”. perbedaan aliterasi itu dimaksudkan agar bunyi yang dihasiklan berbeda dan bervariasi. Selain asonansi dan aliterasi, kedua bait tersebut memiliki persajakan yang hampir sama. Keduanya memiliki sajak awal “I” sajak tengah “ I” dan sajak akhir” a”. hal tiu terlihat dari kutipan di bawah ini.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Sama halnya dengan bait-bait sebelumnya. Pada bait ketujuh, kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh memiliki sajak akhir yang sama yaitu “a”. sajak tengah “a” dan “u”. sedangkan sajak awalnya dominan “I”. Asonansi yang digunakan pada keempat bait itu dominan “a-I” dan diselingi dengan “u-e”. selain asonansi, ada juga aliterasi. Aliterasi yang dominan yaitu “k-m” dan diselingi b-p-t”. hal itu dapat dilihat pada penggalan berikut ini.
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening dimalam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Bait kekesebelas merupakan bait yang berisikan pesan dari pengarang. Hal tiu terlihat dari susunan kata yang selalu diulang-ulang. Hal itu dimaksudkan untuk mempertegas makna. Pengulangan kata tersebut mempengaruhi bunyi yang dihasilkan. Untuk itu, pada bait kesebelas ini asonansi bunyi yang digunakan “a-u” yang diselingi dengan “e-i”. Aliterasi yang digunakan yaitu “b-m”. hal itu terlihat dari kata “Bung” yang selalu diulang pada baris berikutnya dan kata “Menjaga” yang selalu diulang-ulang pula.pada kedua kata tersebut terdapat bunyi huruf “u” dan “e” serta “m” dan “b”. hal itu dapat diperjelas dengan penggalan puisi berikut ini.
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Pada dua bat terakhir, mengandung asonansi “a” diselingi “i-e-u”. selain itu juga mempunyai aliterasi “k” yang diselingi “m-b-t”. persajakan yang digunakan pun dominan mengguanakan persajakan awal “ e” sajak tengah “ a” dan sajak akhir “i”. persajakan yang bervariasi tersebut membuat puisi menjadi terkesan berwarna dan tidak monoton.
Lapis arti
Lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, frase, dan kalimat. Analisis lapis arti pada puisi “Kerawang Bekasi” adalah sebagai berikut.
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
…
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Pada kata “Kami yang terbaring antara Krawang-Bekasi” ini mengandung makna berapa banyak para pejuang yang telah gugur di daerah Krawang dan Bekasi. Hal itu di perkuat lagi dengan kata:
“Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa”
Pada Kalimat tersebut tertulis “Belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa”. Betapa banyaknya pahlawan yang telah gugur sampai-sampai sang penyair mengingatkan pada kita apa arti dari 4 sampai 5 ribu nyawa yang telah menjadi tulang-tulang yang berserakan,dan tulang-tulang yang berserakan itu berada di daerah kecil yang bernama “KRAWANG dan BEKASI”. Sebuah pengorbanan menjadi total ketika segenap jiwa dan raga menjadi taruhannya. Bumi akan bahagia bila sang putranya menyiram dengan darah para pejuang. Bumi mempunyai nilai lebih bila di tempat itu bersemayam bunga-bunga bangsa yang senantiasa menjadi pembelanya. Bumi tidak akan kecewa karena dari situlah dilahirkan putra-putra terbaiknya yang senantisa siap untuk menjaga dan membelanya.
Makna selanjutnya dijelaskan pada bait di bawah ini:
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Rangkaian kata di atas menggambarkan bahwa para pahlawan yang telah gugur di Kerawang dan Bekasi tinggal tulang-tulang saja. Namun, tulang-tulang itu adalah milik para pejuang selanjutnya yang masih hidup. Hal itu menandakan bahwa para pejuang yang telah gugur membela tanah air demi para pejuang selanjutnya, demi kita semua rakyat Indonesia.
Hal itu dipertegas dengan rangkaian kata pada bait selanjutnya. Tulisan itu menyatakan bahwa perjuangan mereka (para pahlawan yang telah gugur) demi hidup ita semua memiliki nilai yang sangat besar. Oleh sebab itu, perjuangan yang mengorbankan jiwa itu mengharapkan nilai dari kita semua. Nilai yang dimaksud adalah kesediaan para pejuang untuk meneruskan perjuangannya.
Selanjutnya, pada bait
Kami bicara padamu dalam hening dimalam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Pada baris pertama memiliki arti bahwa para pahlawan bicara pada kita, penerus perjuangan dalam dunia baru mereka yaitu alam kubur yang sunyi sepi. Dilanjutkan pada baris selanjutnya, memperkuat harapan pengarang terhadap kaula muda untuk mengingat perjuangan mereka supaya kaula muda memiliki tekad untuk melanjutkan perjuangan.
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Rangkaian kata dalam satu bait tersebut merupakan ungkapan para pejuang yang telah gugur kepada para pemuda sebagai penerus bangsa. Para pejuang yang telah gugur mengharapkan para pemuda untuk meneruskan dan menjaga hasil perjuangannya. kata-kata menjaga para tokoh tersebut memiliki maksud bahwa kita harus menjaga kemerdekaan yang mana para tokoh-tokoh itulah yang memproklamasikan kemerdekaan negara kita. Rangkaian kata-kata itu merupakan pesan inti dari penyair kepada kita sebagai pembaca.
Lapis dunia
Puisi Karawang-Bekasi merupakan puisi yang dibuat pada tahun 1946 oleh Chairil Anwar setelah ia mendapatkan inspirasi dari kejadian di antara kota Karawang dan Bekasi. Puisi ini menceritakan perjuangan para pejuang bangsa dalam menghadapi musuh dan menjaga tokoh negara. Mereka gugur dalam usaha menciptakan perdamaian dan upaya memperoleh kemerdekaan. Hal itu dapat dilihat dari pilihan kata yang ada dalam puisi tersebut.
Lapis metafisis
Lapis metafisis merupakan lapis yang menumbuhkan minat pembaca tersebut merenungkan (berkontemplasi) isi dari setiap puisi yang diungkapkan. Lapis metafisis yang terdapat pada puisi. Pada puisi “Krawang-Bekasi” ini sikap penyair terhadap pembaca adalah rendah hati dan tegas hal itu terlihat pada kata pengharapan yang ada yaitu :
Kenang,kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai,belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserekan
Tapi adalah kepunyaanmu
Pada bait di atas terlihat betapa sang penyair dengan kalimat pengaharap kepada pembacanya, penikmatnya, pemerhatinya menggunakan pilihan akhiran “lah” pada kata “kenanglah” dan rasa rendah hati itu dipertegas pada kalimat berikutnya yaitu : “Kami sudah coba apa yang kami bisa”. Pada kalimat tersebut dapat kita ketahui bahwa perjuangan itu penuh risiko tetapi sang penyair menyatakan bahwa ia sudah mencoba apa yang ia bisa walaupun nyawa jadi taruhannya. Meskipun begitu tetap ia menyatakan apa yang dilakukan belum selesai, memang selamanya perjuangan itu akan berkelanjutan sampai hayat dikandung badan. Kalimat lain yang menyatakan merendah adalah :”Kami Cuma tulang-tulang yang berserakan.Tapi adalah kepunyaanmu”. Pada kalimat itu ada kata “Cuma” yang seakan-akan hal itu tidak berarti, karena dinyatakan sebagai tulang-tulang yang berserakan. Padahal tulang-tulang yang berserakan itu adalah tulang para pejuang yang telah mengorbankan diri untuk tanah air dan bangsa.
Pertempuran Karawang Bekasi
Monumen Rawagede |
Tugu |
0 Response to "Makna Puisi Karawang Bekasi Chairil anwar Dan Analisis Artinya"
Posting Komentar